BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang diridloi
Allah, Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk menyempurnakan Akhlak, dan
mengajarkan ajaran agama islam serta mengajarkan kepada manusia bagaimana untuk
menjalani hidup ini dibawah keridloan Allah Swt. Sumber hukum yang menjadi
pedoman yaitu Al-Quran dan sunnah. Dalam Al-quran memiliki isi kandungan yang
sangat kompleks yaitu berupa hukum-hukum yang mengatur kehidupan makhluk ciptaannya.
Dalam islam mencakup tiga aspek
yaitu hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia dan
hubungan manusia dengan alam. Dalam hubungan manusia dengan Allah, semuanya
sudah diatur oleh Allah. Sehingga dalam hubungan manusia dengan Allah dalam
arti tata cara ibadah kepada Allah hukum awalnya adalah tidak boleh kecuali ada
dalil yang memerintahkan. Sebaliknya, dalam hubungan dengan sesama manusia dan
alam syariat Islam hanya mengatur pokok-pokoknya saja, sehingga hukum awalnya
adalah boleh kecuali ada dalil yang melarang.
Tidak cukup seorang manusia
menjalankan syariat tanpa mengenal pembuat syariat itu. Hal inilah yang menjadi
kajian dalam ilmu tasawuf, yakni sebuah disiplin ilmu yang mempelajari
bagaimana seorang hamba untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Tuhannya
atau mengenal Tuhannya. Dengan bertasawuf, perilaku seorang hamba akan
terefleksikan dalam berbagai tindakan dan berkomunikasi secara baik dengan
Tuhan sebagai perwujudan hablum minallah sekaligus berhubungan baik dengan
sesama manusia dan alam
Menurut perkembangannya dalam agama
islam banyak cara yang ditempuh oleh para arif bilah dalam mendekatkan diri
kepada sang Khaliq, Pencipta alam semesta. Salah satunya berkembangnya ajaran
tasawuf ini, yang pada intinya dalam ajaran tasawuf merupakan salah satu ajaran
yang lebih mengedepankan bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Demikian juga tasawuf pun banyak dikenal dengan aliran-aliran dan macam yang
berhubungan dengan ajaran tasawuf.
Kenyataan pada kehidupan dimasa
sekarang banyak manusia khususnya umat islam sendiri terlena dengan kehidupan
dunia sehingga mereka lupa akan kehidupan akhiratnya. Dengan melihat fenomena
sekarang ini perlu kajian mendalam tentang ajaran tasawuf ini, walaupun pada
awal berkembangnya banyak celaan terhadap para kaum sufi yang mengikutinya.
Tetapi setelah mereka memahami secara lebih jauh lagi akhirnya ajaran tasawuf
diterima di masyarakat.
Ajaran tasawuf adalah ajaran
kebersihan batin dan kebatinan, semata – mata menjurus untuk bisa memasuki Hidratul
Qudsi (hidrat kesucian) dengan makrifat yang sempurna, agar bisa
musyahadah, mukasyafah dengan siraman mahabbah dari pada-Nya. Intinya dalam
ajaran tasawuf merupakan metode, yaitu bagaimana seorang hamba untuk
mendekatkan dirinya kepada Tuhannya.
Dalam hal ini penulis akan
mengkaji, bagaimana konsep dari ajaran tasawuf ini dengan konsep “Mahabbah”
nya. Dimana mahabbah tersebut merupakan bagian dari maqam tasawuf dimana dalam
setiap tahapan maqam tersebut bertujuan demi mencapai insan kamil, sebagai
sebutan bagi sosok manusia yang mencapai derajat kesempurnaan.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini rumusan
masalah yang akan di uraikan adalah :
1.
Apa pengertian dari tasawuf ?
2.
Apa yang dimaksud dengan maqam dan tahapan
maqam dalam bertasawuf ?
3.
Apa pengertian dari mahabbah dan bagaimana
konsep mahabbah dalam tasawuf ?
C. Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini
adalah :
1.
Mengetahui pengertian dari tasawuf.
2.
Mengetahui pengertian maqam dan tahapan maqam
dalam bertasawuf.
3.
Mengetahui pengertian mahabbah dan konsep
mahabbah dalam tasawuf.
BAB II.
PEMBAHASAN
A. TASAWUF
Kata “Shufi”
berasal dari bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat
lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari
kain “Shuf” (kain wol) dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol
di zaman dulu selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan
bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa
Al Masih ‘alaihi sallam.
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”,
karena kata ini termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al
Qurasyi” (yang artinya: penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al
Madani” (artinya: penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya.
Ada juga
yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan) yang terdepan di
hadapan Allah ‘Azza wa Jalla , pendapat ini pun salah, karena kalau
benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” (dengan
harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’” yang
didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah”
(orang-orang terpilih) dari semua makhluk Allah ‘Azza wa Jalla , dan
pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya
adalah: “Shafawi”.
Tasawuf
adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiallahu
‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi
sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman
tiga generasi ini. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”,
lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru
dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari
beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad
bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari
Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang
meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.”
Kemudian
Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota
Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud
dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya. Berkata Imam Ibnu
Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud
secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran
ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan
tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik
kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta
dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka
bersenang-senang dan bermain pada diri mereka.”
Dan berkata
DR. Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan
(hal. 17): “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani
-yang mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam
biara-biara- pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf
ini di seluruh penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan
tauhid, yang mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang
sangat jelas pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.”
Dari
keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran
yang menyusup ke dalam Islam, hal ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang
dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari
petunjuk islam. Dan yang kami maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf
zaman sekarang, yang banyak melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama,
adapun ahli tasawuf yang terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti
Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain
B. MAQAM DALAM TASAWUF
Kata maqam dapat diartikan sebagai
station, tahapan atau tingkatan spiritual yang dicapai oleh para sufi, maqamat
merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara terminologi sufi maqam diterjemahkan
sebagai kedudukan spiritual yang diperoleh dengan daya upaya (mujahadah) dan
ketulusan dalam menempuh perjalanan spiritual.
Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi
mengatakan bahwa maqam merupakan tingkatan seorang hamba disisi Allah swt yang
diperoleh karena ibadah, mujahadah, riyadlah, dan putusnya hubungan selain
Allah Swt. Beliau juga mengatakan bahwa
maqam adalah kedudukan spiritual yang dicapai oleh seorang hamba dalam waktu –
waktu tertentu. Tingkatan maqam yang dilalui, merupakan hasil kesungguhan dan
perjuangan yang dilakukan terus menerus dalam hal ini melalui latihan dan
menanamkan kebiasaan yang lebih baik lagi, dan telah pula menyempurnakan syarat
– syarat yang harus ada pada maqam dibawahnya.
Perjalanan ini merupakan perjalanan
panjang berisi tingkatan – tingkatan yang harus ditempuh oleh seorang sufi yang
penuh dengan kesulitan dan membutuhkan jiwa yang sungguh – sungguh. Maqam bisa
berupa etika yang diwujudkan dengan upaya menuntun kepada Allah Swt dan upaya
pencapaian yang dilakukan oleh kaum sufi sangatlah beragam.
Abu Muhammad al-Qasim menyatakan
bahwa ketika seorang hamba mencapai kedudukan maqam, maka seorang hamba harus
memanfaatkan waktu untuk mengingat Allah Swt, mengisi waktu dengan amaliah
lahir dan batin, bahkan setiap gerak geriknya. Maka dari itu dibutuhkan sikap
istiqamah, dan tidak hanya ituseorang sufi mesti terbebas dari keinginan dan
hawa nafsu pribadinya. Untuk mempermudah pencapaian tersebut, para sufi telah
menciptakan jalan spiritual untuk merangkai hubungan dengan Tuhan, dan jalan itu
disebut maqamat.
Tingkatan maqam dalam tasawuf, tiap
sufi memberi nama dan menentukan urutan maqam yang harus dilaluinya. Muhammad
al-Kalabazi mengidentifikasikan maqam para sufi terdiri dari : Taubat, Mujahadah,
Zuhud, Khauf dan Raja’, Faqr, Sabar, Cinta dan Rindu, Wara’, ‘Uns, Riyadah dan Ma’rifah.
Tetapi dalam pembahasan hanya dalam konsep mahabbah.
C. MAHABBAH DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
Ada banyak
ayat – ayat dalam alqur’an menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhan
dapat saling bercinta. Diantaranya : Artinya: “jika kamu cinta kepada Allah,
maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu”. (QS. Al-imran: 30).
Artinya:”Allah akan mendatangkan suatu ummat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya”.
(QS. Al-Maidah: 54). Di dalam hadits juga disebutkanyang artinya:” hamba-Ku
senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku
cinta kepada-Nya.
Orang yang
Ku cintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”. Ayat dan hadits di atas
memberikan petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan dapat saling mencintai,
karena alat untuk mencintai Tuhan, yaitu roh yang berasal dari Tuhan. Roh Tuhan
bersatu dan roh yang ada pada manusia anugerah Tuhan bersatu dan terjadilah
mahabbah. Untuk mencapai keadaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh
D. DASAR-DASAR AJARAN MAHABBAH
1. Dasar Syara’
Ajaran mahabbah
memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW.
Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf
umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau
agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.
a. Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya
sebagai berikut:
1)
QS. Al-Baqarah ayat
165
“Dan
diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada
hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat
berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)”.
2)
QS. Al-Maidah ayat 54
“Hai
orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah,
dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui”.
3)
QS. Ali Imran ayat 31
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
b.
Dalil-dalil dalam
hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“ Tiga hal
yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman,
yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain
keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga
benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke
neraka”.
….. وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا …
….Tidaklah
seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku
akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya
yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk
melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya
yang ia gunakan untuk berjalan. …
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Tidak
beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya,
orang tuanya, dan seluruh manusia.
2. Dasar Filosofis
Dalam
mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini,
al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus.
Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana
kualitasnya, yaitu sebagai berikut:
1)
Cinta tidak akan
terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau
seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa
cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup.
Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh
seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi
dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau
seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan
dibenci oleh manusia.
2)
Cinta terwujud sesuai
dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan.
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam
pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek
itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan
yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap
obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui
pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh
binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan
melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah
yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh
pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.
3)
Manusia tentu
mencintai dirinya
Hal pertama
yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya.
Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan
membinasakan kelangsungan hidupnya. Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan
lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta. Pada gilirannya,
sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu
cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
1)
Cinta kepada diri
sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu
ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya.
Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang
menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya,
kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak
pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak
lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan
tumbuh. Semakin dalam ia mengenal Tuhannya, maka semakin dalam pula
cintanya kepada Tuhan.
2)
Cinta kepada orang
yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat
tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia
untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan
makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya,
setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan
motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas
bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka
kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala,
surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi
atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah
jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya
untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain,
orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan
betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan
berujung kepada Allah, maka cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah.
Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun.
Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa
dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk
menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap diberikan.
Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu
oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul
arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang
memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
3)
Mencintai diri orang
yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan juga merupakan watak
dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik,
maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun
kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil,
tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima
langsung kebaikan sang penguasa.
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar
kepada cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah
tercipta alam semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya,
kebaikan Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa
Allah memang pantas untuk dicintai.
4)
Cinta kepada setiap
keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang
bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga.
Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta
kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh
banyak orang. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah.
Keindahan yang bersifat batiniah inilah
yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan
lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan
yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat
dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul menyadari
betapa Tuhan Maha Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, sehingga
ia pun akan menyadari betapa indahnya
Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
5)
Kesesuaian dan
keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain,
maka akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung
lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Ketika dua orang sudah saling
mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat
dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika
dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat
perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan
perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian
inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah
bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah.
Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia
tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka.
Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh
mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia,
misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan
kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah
ada yang mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam
jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai
Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian
tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang
betul-betul mengalami cinta ilahiah.
E. BAB III. MAHABBAH DALAM TASAWUF
Berasal dari kata ahaba, yuhibbu,
mahabatan secara harfiah berarti mencintai secara mendalam atau kecintaan yang
mendalam. Mahabbah berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan
dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun
spiritual. Mahabbah berasal dari kata hibbah,
yang berarti benih yang jatuh kebumi, karena cinta adalah sumber
kehidupan, sebagaimana benih menjadi tanaman. Al-Junaid mengatakan cinta adalah
kecenderungan hati dalam hal ini kepada Tuhan. Al-Kattani juga memandang cinta
sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya dan apa –apa yang datang dari
dikasihinya.
Cinta adalah kekuatan pendorong
bagi pengungkapan diri Allah Swt, yakni penciptaan makhluk-Nya. Hadits Qudsi : “Aku adalah khazanah
tersembunyi dan aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan makhluk.” Cinta (hubb)
inilah yang mendorong Sang Khaliq untuk menatap sang kekasih dengan penuh
tatapan, oleh karena itu salah satu bentuk hubungan Allah Swt dengan makhluk
nya adalah saling mencintai.
“Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu
yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mukmin”. (Al-Maidah : 54)
Cinta adalah persesuaian, yaitu
kepatuhan terhadap apa yang diperintahkan oleh Tuhan. Muhammad ibn ‘Aliy Kaffani
mengatakan bahwa cinta berarti lebih menyukai kekasihnya, dan cinta
dipersembahkan untuk orang yang dicintainya. Kata Mahabbah selanjutnya
digunakan untuk menunjukan pada faham suatu aliran tasawuf, dan yang menjadi
objek adalah Tuhan. Arti mahabbah dalam pandangan tasawuf adalah kecintaan yang
mendalam secara ruhiah pada Tuhan.
Al-Qusyairi, mengatakan
“Al-mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya
adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah Swt, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya
itu juaga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba
mencintai Allah Swt”. Mahabbah kepada
Allah adalah cinta yang tanpa dibarengi dengan harapan pada hal – hal yang
bersifat duniawi, maka mahabbah berbeda dengan al-raghbah. Cinta kepada Allah
Swt menurut Al-Ghazali adalah sebagai hasil dari ma’rifatullah, oleh karena itu
beliau mengatakan bahwa tajalliy (memperoleh kenyataan) berarti menampakan
keagungan Allah Swt, yang pada akhirnya membawa manusia kepada khauf, tajalliy
kecantikan dan keindahan Allah Swt, yang membawa manusia kepada rindu, tajalliy
sifat Allah Swt membawa manusia kepada cinta, tajalliy zat Allah Swt membawa
manusia kepada tauhid. Firman Allah Swt dalam surat Ali-Imran : 31
Artinya : “ Katakanlah (Muhammad) : jika
kamu mencintai Allah ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni
dosamu. Allah Mha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Sehubungan dengan itu Al-Razy
menjelaskan, sesungguhnya cinta Allah ta’ala bagaikan cinta kebesarannya,
kemuliaannya atau cinta ketaatannya, atau sifat-sifatnya. Cinta itu adalah
iradah, dan iradah tergantung pada kejadian dan manfaat. Makna cinta atau
mahabbah merupakan suatu kelezatan, lawannya adalah kebencian yaitu
ketidaksukaan jiwa karena keberadaannya. Bertambah cintanya maka bertambah
kelezatannya. Seseorang yang beriman yang amat sangat cintanya kepada Allah,
maska pasti akan mendapatkan faedah dari kecintaannya, yang dalam cinta tersebut
terdapat kelembutan, yaitu Allah Swt.
Tetapi sayangnya, hati manusia
sering lalai sehingga tertutup mengenal Allah Swt. Padahal jamal, jalal
dan kamal-Nya dapat kita saksikan di alam jagat raya ini. Tafakur
kepadanya akan membawa kita mengenal-Nya. Kenal atau ma’rifah terhadap-Nya
membawa kita mencintai-Nya. Yang pada akhirnya membuat kita selalu rindu
kepada-Nya dan lidah akan selalu basah menyebut asma-Nya. Kemanapun pergi yang
nampak hanyalah wajah-Nya.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun
kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”. ( Q.S Al-Baqarah : 115)
Dalam keadaan apapun, maka kita
akan selalu ingat kepada-Nya jua. Q.S
Ali-imran : 191 yang artinya : “mereka ingat kepada Allah diwaktu berdiri,
duduk dan diwaktu berbaring”. Dan apabila disebutkan nama sang
kekasih....Allah,bergetarlah hatinya, dan seluruh tubuhnya luluh serta lemas,
terasa seakan diri berdiri dihadapan-Nya.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang
bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah
mereka bertawakkal.” (Q.S Al-anfal : 2)
Apabila diri telah tenggelam dalam
mencintai Allah, maka pasti akan terasa kelezatan iman, terasa indahnya
kehidupan, terasa syahdunya menjadi penghuni alam. Dari hal ini timbullah akar
sikap ridha. Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta kepada Allah
Swt dalam tiga hal, yaitu :
1.
Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci
sikap melawan kepada-Nya.
2.
Menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.
3.
Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali
dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.
Tujuannya
adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan
kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa. Mahabbah merupakan hal keadaan
mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah
berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para sufi
dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt.
Mengenai
kedudukannya, al-mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan
dengan ma’rifah, baik dalam kedudukan maupun pengertiannya. Ma’rifah adalah
merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (alQalb), maka
mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta(roh). Rasa cinta
itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas mendalam,
sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Menurut Al Ghazali mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan. Dengan
demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah.
1. Tingkatan Mahabbah
Terdapat tiga tingkatan seperti
yang dikemukakan Al-Sarraj dikutip Harun Nasution, yaitu :
1.
Mahabbah orang biasa
Biasanya
mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan berdzikir, suka menyebut nama –
nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa
memuji Tuhan.
2.
Mahabbah orang sidiq
Adalah cinta orang yang kenal kepada Allah,
pada kebesaran, ilmu-Nya dan lain-lain. Merupakan cinta yang dapat
menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan
demikian dapat melihat rahasia – rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan
dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari diaolg itu.
Cinta tingkat ini membuat orang tersebut
sanggup menghilangkan kehendak dan sifat – sifatnya sendiri, sedangkan hatinya
penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu kepada-Nya.
3.
Mahabbah orang arif
Merupakan cinta orang yang tahu betul kepada
Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Akhirnya sifat – sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.
Dari ketiga tingkat tersebut
menunjukan proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat – sifat Tuhan
dengan menyebutnya melalui zikir, dilanjut dengan lebur diri (fana) pada sifat
– sifat Tuhan itu dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dan
ketiga tingkatan ini nampaknya cinta terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah.
Mahabbah ini yang merupakan suatu
keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat – sifat
dicintai masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya ialah untuk memperoleh
kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan kata – kata tetapi hanya dapat
dirasakan oleh jiwa. Selain itu mahabbah merupakan keadaan mental, seperti
perasaan senang, sedih, perasaan takut
dan sebagainya.
2. Penyebab Timbulnya Cinta (Mahabbah)
Banyak yang menyebabkan orang
tertarik kepada sesuatu yang lain, sehingga dia merasa cinta, kagum, kasihan,
atau meras berterima kasih kepadanya. Ada lima perkara yang menyebakan orang
tertarik kepada sesuatu :
1.
Tertarik karena keindahan, kecantikan, dan
kelezatan sesuatu.
2.
Tertarik karena ingin keselamatan diri.
3.
Tertarik karena jasa baik, karena setiap
manusia akan merasa tertarik terhadap orang dengan senyum simpul bahkan sampai
menolong dengan sukarela.
4.
Tertarik karena persesuaian pemikiran. Seperti
adanya ukhuwah islamiyah karena adanya rasa timbul dari manifestasi persamaan
aqidah.
“Orang-orang
yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang – orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka ”. (al-Fath : 29)
5.
Karena kebaikan yang ada pada sesuatu,
sehingga dalam hal ini seseorang yang berbudi baik disenangi oleh segenap orang,
meskipun orang yang menyayanginya itu baru mendengar namanya saja.
Dari lima poin di atas dapat disimpulkan
mejadi dua, yaitu :
1.
Selamat
Orang
mencintai sesuatu karena ingin mendapat keselamatan darinya.
2.
Senang
Seperti halnya
seorang pria senang melihat perempuan yang cantik, tetapi alangkah besarnya
kecintaan kita kepada Allah Swt yang telah menjadikan diri kita, sehingga kita
bisa melangsungkan hidup kita. alam luas terbentang kita berusaha mencari
rezeki di atasnya.
Allah adalah Zat yang Maha Indah
(jamal) tiada yang melebihi keindahan-Nya, keindahan makhluk hanya bersifat
sementara. Bukan hanya jamal tapi Allah juga kamal (sempurna), Allah Maha Kaya
apa yang kita minta Allah akan memberikannya. Ibnu Qayim al-Jauziyah
:”sesungguhnya sifat Allah dan Kesempurnaan-Nya, hakikat asma-Nya yang menarik
hati untuk mencintai-Nya, dan mendorong manusia untuk mencapai-Nya. Hati hanya
mencintai yang sudah dikenalnya, ditakutinya, diharapkannya, dan dirinduinya,
dan merasa lega karena berdekatan dengan-Nya. Justru karena kenal kepada sifat
itulah manusia mencintai-Nya, dengan demikian insan dapat mencapai-Nya dengan
kasyaf dan limpahan karunianya”.
3. Pembagian Cinta
Bagian dari sifat cinta adalah
ketersambungan dengan yang dicinta, dan sifatnya yang umum adalah mencintai apa
yang dicintai kekasihnya maka ia mencintai objek yang terputus. Tujuan antara
ketersambungan dengan keterputusan adalah mencintai cinta kekasih pada
keterputusan, bukan mencintai keterputusn, serta mencintai ketersambungan. Cinta
terbagi menjadi tiga, yaitu cinta ilahi, cinta ruhani dan cinta alami. Cinta
ilahi adalah cinta Allah kepada kita, dan cinta kita kepada Allah. Firman Allah
dalam Q.s Adz-Dzariyat : 56, yang artinya : “ tidak semata – mata Aku
menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku”.
Cinta ruhani adalah cinta yang
mengalir dalam kerelaan kekasih, dan tidak tersisa maksud dan tujuan baginya
bersama kekasihnya, melainkan karena hukum cinta saja. Cinta alami adalah cinta
yang menuntut pencapaian maksud baik tersembunyi maupun tidak, dan cinta inilah
yang kebanyakan dimiliki manusia sekarang.
Dari tiga bagian cinta di atas, ada
dua cinta kita kepada Allah Swt secara bersamaan, cinta ruhani dan alami.
Apabila seorang hamba telah tertanam dua cinta tersebut mereka akan selalu
memuji, bertasbih kepada-Nya dan beribadah tanpa menuntut imbalan apapun
dari-Nya.
Cinta ruhani adalah mencintai
kekasih demi dia dan demi dirinya sendiri. Tujuan cinta ruhani adalah “aku
adalah yang mencintai, ia yang mencintaiku”. Cinta alami ialah mencintai
satu objek cinta demi diri sendiri, bukan demi diri yang dicintainya. Cinta
memiliki empat kategori :
1.
Hawa (nafsu)
Hawa jatuhnya
dalam hati, yaitu kemunculannya dari gaib ke nampak, terjadinya hawa ada tiga,
yaitu penglihatan, pendengaran dan kebaikan. Dari ketiganya yang paling
berpengaruh adalah penglihatan. Hawa kadang dikaitkan dengan cinta manusia,
maka Tuhan menyuruhnya untuk tidak mengikuti cinta manusia, melainkan mengikuti
cinta Tuhannya.
“... dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu..” (QS. Shaad :26)
2.
Hubb
Pemurnian
nafsu dalam kaitannya dengan jalan Allah tanpa jalan yang lain. QS Ali-Imran
ayat 165, yang artinya :” adapun orang yang beriman amat sangat cintanya kepada
Allah”
3.
‘Isyq
Ialah
pelampauan batas mahabbah, “... amat sangat cintanya ...” mereka adalah para
pecinta (al-‘asyiq) yang bersungguh – sungguh dalam cinta, ini yang disebut
sangat cinta (al-garaam). Dalam konteks ini akan mengalami seorang pecinta
tunduk dan patuh kepada kekasihnya.
4.
Al-Wudd
Adalah
tetapnya ketiga kategori di atas, tidak ada sesuatu apapun yang merubahnya baik
yang menyenangkan maupun menyengsarakan. Dengan kata lain tetapnya mahabbah
dalam diri. Konsep mahabbah lebih lembut daripada dalam esensinya, sebagaimana
firman Allah “beribadahlah kepada Allah seakan – akan engkau melihat-Nya”.
4. Sifat Para Pecinta dalam Konsep Mahabbah
Adapun
sifat – sifat para pecinta dalam mahabbah adalah :
1.
Bingung, yakni
cintanya membuatnya bingung, kebingungan pecinta Allah disebabkan karena ia
mengetahui kelak Allah ta’ala tidak bersyarat dan tidak ditentukan tempat,
“maka kemanapun engkau menghadap disitulah wajah Allah” (QS 2:115)
2.
Duka (kamd), yaitu
sakit hati yang paling nyeripecinta yang merasakannya akan banyak merintih dan
menarik nafas panjang. Tidak ada obatnya kecuali menemui kekasihnya, kesibukan
degan kekasihnya akan membuatnya fana akan rasa nyeri.
3.
Mengikuti Rasulullah
Saw dalam hal telah disyariatkan.
Allah berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 31 :
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
5. Model – Model Cinta Allah Kepada Hamba-Nya
Benih cinta
pokoknya berasal dari Allah. Cinta manusia merupakan percikan karunia dari
Allah. Cinta terhadap diri dengan berbagai cara sehingga kita dapat melanjutkan
hayat kita dengan aman dan tenteram (mahabbatut-thabi’iyah). Perasaan cinta
dengan menumpahkannya kepada Tuhan sang khaliq, yang menyayangi kita, memberi
kita hidup, sehingga terasa di dalam diri kita perasaan cinta kepada-Nya.
(mahabbatul-ubudiyah).
Dengan
mahabbatul-ubudiyah manusia mengagungkan Allah, mencari keridloan-Nya, tidak
merasa tenang kalau tidak bersama-Nya dan mengharapkan pertemuan dengan Allah. Cinta
yang asal, menjadi asal usul cinta kita yaitu cinta Allah kepada makhluk-Nya
disebut mahabbatun-ilahiyah. Semakin tinggi cinta ubudiyah mak semakin mendalam
cinta ilahiyah kepadanya.
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu."
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Ali-Imran : 31)
Sebagai bukti betapa besarnya cinta
Allah kepada manusia secara umum, kita debiri petunjuk jalan hidup menuju
kesejahteraan baik duniawi maupun ukhrawi, dengan hidayah-Nya. Mulai dari
hidayah paling rendah sampai hidayah tertinggi, yakni :
1.
Hidayah ilham, yakni Tuhan memberikan kepada
manusia naluri yang menggerakannya untuk menuntut segala yag dibutuhkan oleh
jiwa raganya.
2.
Hidayah indera, yakni kita diberikan panca
indera dengan segala fungsi dan kegunaan, dan itu semua kita rasakan. Dengan
panca indera manusia dapat membedakan antara yang berguna bagi tubuh dan yang
tidak bermanfaat.
3.
Hidayah akal, yang kedua dan pertama manusia
tak berbeda dengan hewan, tapi dalam hidayah ini yang membedakan kita dengan
yang lainnya yaitu akal. Dengan akal kita bisa membedakan mana baik dan buruk,
mana yang layak atau tidak.
4.
Hidayah agama, inilah hidayah tertinggi.
Dengan ini manusia ditunjukan Allah agar manusia selamat di dunia dan akhirat.
Cintanya Allah sudah ada sejak sebelum
Dia menciptakannya, sedangkan cinta yang khusus muncul dari amalan – amalan
manusia baik yang sunnah dan wajib. Berikut model cinta Allah kepada hamba-Nya
:
1.
Cinta Allah kepada orang yang bertaubat.
Orang yang
benar-benar betaubat adalah hamba yang lebih bersabar pada hak orang yang
berbuat jahat kepadanya, kemudian ia membalas semua dengan kebaikan dan
memaafkan semua perlakuan yang menyakitkan itu, dan bukan ia yang kembali
kepada Allah kecuali orang yang tidak tahu bahwa Allah bersamanya dalam setiap
waktu. “... pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah” (QS 2 : 281).
Dengan
demikian orang tersebut benar – benar mengakui kesalahannya dan tidak akan
mengulangi kesalahan tersebut, segala sesuatu yang telah ia kerjakan maka ia
kembalikan kepada Allah dengan cara berserah diri dan bertawakal.
2.
Cinta Allah kepada orang yang mensucikan diri.
Dalam hal ini
tidak hanya bersih lahiriah tetapi bersih dalam ruang lingkup ruhaniah. Karena
dalam diri manusia terdapat nafsu yang mana hal tersebut menjerumuskan kedalam
kesalahan, keangkuhan, riya, takabur dan lainnya.
3.
Cinta Allah kepada Orang yang bersih
(muthathohhirin). (QS 9 : 108)
Mereka adalah
orang – orang yang membersihkan diri dan membersihkan orang lain. Dalam konteks
tersebut saling mengingatkan dalam hal kebaikan.
4.
Cinta Allah kepada Orang yang sabar.
“... Allah
mencintai orang – orang yang sabar...” (QS 3 : 146)
Mereka adalah
orang – orang yang terkena musibah dan menahan diri dari mengadu kepada selain
Allah.
“Bersabarlah
(hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah
“. (An-Nahl : 127).
5.
Cinta Allah kepada Orang Yang bersyukur.
Segala sesuatu
yang terjadi semua adalah kehendak Allah, dan semua yang terjadi menimpa
manusia baik dalam kebaikan dan keburukan atau kepahitan semua tetap wajib kita
syukuri, karena dalam semua itu terdapat hikmah bagi kita.
6.
Cinta Allah kepada orang yang berbuat baik.
(Muhsinin)
“Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (Al-Baqarah : 195)
Kebaikan
adalah sifat Allah, dan kebaikan yang dengannya Allah menamai seorang hamba
dengan muhsin, adalah beribadah kepada Allah seakan – akan melihat-Nya dalam
gerak – gerik dan aktivitasnya.
“Tiadakah
cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? ” (QS
41. Al-Fuhsilat : 53)
7.
Cinta Allah kepada orang yang berjuang di
jalan Allah.
“Sesungguhnya
Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur
seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (QS.
Ash-Shaf : 4)
8.
Cinta Allah akan Keindahan.
Sabda Rasul
Saw : “ sungguh Allah Maha Indah dan Mencintai Keindahan ”. Seperti
alam ini penuh dengan keindahan, maka sudah seharusnya mencintai alam, menjaga
dan memelihara alam ini dengan cara pandang yang baik. Tetapi bukan terhadap
alamnya tersebut melainkan kaindahan alam merupakan sebuah hasil karya yang
Maha Indah, yang dibuat oleh kreatornya yaitu Allah Swt.
F. ALAT UNTUK MENCAPAI MAHABBAH
Para ahli
tasawuf mengungkapkan alat untuk mencapai mahabbah yaitu menggunakan pendekatan
psikologi melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun
Nasution mengatakan alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir.
Harun
Nasution mengutip pendapat al-Qusyairi ada 3 alat yang digunakan untuk
berhubungan dengan Tuhan yaitu:
1.
Al-Qalb, yaitu hati
sanubari, sebagai alat mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2.
Roh, yaitu alat untuk
mencintai Tuhan.
3.
Sir, yaitu alat untuk
melihat Tuhan. Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qolb.
Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qolb, dan sir timbul
dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qolb dan roh telah suci
sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.
Dari
keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah
roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan
dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya berisi oleh cinta kepada
Tuhan. Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu sebenarnya telah
dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak dalam kandungan ketika berumur empat
bulan, dengan demikian alat untuk mencintai Tuhan sebenarnya telah diberikan
Tuhan. Manusia tidak mengetahui sebenarnya hakikat roh itu, yang mengetahui
hanyalah Tuhan.
Artinya: “ mereka
itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu
urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali”.
(QS. Al-isra’: 85).
Selanjutnya
Rasulullah saw juga telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
imam Bukhari dan Muslim yang artinya: “sesungguhnya manusia dilakukan
penciptaaannya dalam kandungan ibunya, selama empat puluh hari dalam bentuk
nutfah(segumpal darah), kemudian menjadi alaqah(segumpal daging) pada waktu
juga 40 hari, kemudian dijadikan mudghah (segumpal daging yang telah berbentuk)
pada waktu 40 hari juga, kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan
roh kepadanya”
G. TOKOH YANG MENGEMBANGKAN MAHABBAH
Tokoh yang
memperkenalkan mahabbah adalah Rabiah al Adawiyah, nama panjangnya Ummul Khayr
binti Islmail Rabi’al al-Adawiyah Al-Basyirah. Ia adalah seorang zahid
perempuan yang amat besar dari Basrah, di Irak. Ia hidup antara tahun 95H/713
wafat 185 H/801 M.
Menurut
riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup
selanjutnya ia banyak beribadah, bertaubat, menjauhi hidup duniawi dan menolak
bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Selain itu juga ia betul –
betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Allah swt dan
selalu menolak lamaran pria salih. Diantara doa dari Rabiatul Adawiyah : “Ya
Rabbi, bila aku menyembah-Mu karena takut akan neraka bakarlah diriku di
dalamnya. Bila aku menyembah-Mu karena harap akan syurga jauhkanlah aku dari
sana. Namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau maka janganlah Kau tutup
Keindahan Abadi-Mu”.
1. Mengenal Allah dengan Cinta
Rabiah
adalah Sufi pertama yangmemperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah
jenjang maqam, atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik. Bukan hanya
beliau terdapat tokoh sufi yang lain seperti Maulana Jalaludin Rumi yang lahir
di Persia tahun 604 H/1207 M wafat 672 H/ 1273 M. Beliau banyak mengenalkan konsep
mahhabah melalui syair – syairnya. Tetapi yang paling banyak adalah konsep yang
diajarkan oleh Rabiah Al-Adawiyah.
Konsep dan
ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yang terdalam dari sekedar
cinta itu sendiri. Mahabbatullah tidak lain adalah sebuah maqam bahkan puncak
dari semua maqam. Hujjatul islam Al-Ghazali mengatakan, “ setelah mahabbatullah
tidak ada lagimaqa, kecuali hanya merupakan sebuah buah daripadanya serta
mengikuti darinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan
kepuasan hati (Ridla). Cinta Rabi’ah adalah cinta spiritual (cinta
kudus), bukan cinta al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau cinta yang lain.
Ibnu Qayim
Al-Jauziyah (691 H – 751 M), membagi cinta menjadi empat baian :
1.
Mencintai Allah,
dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari azab Allah, atau
mendapatkan pahala-Nya.
2.
Mencintai apa – apa
yang dicintai Allah, cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah
masuk islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling dicintai
adalah yang paling kuat dengan cinta ini.
3.
Cinta untuk Allah dan
kepada Allah, yaitu perkembangan dari mencintai apa – apa yang dicintai Allah.
4.
Cinta bersama Allah,
cinta jenis ini syirik, setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan
untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah.
Inilah cinta orang – orang musyrik.
Pokok
ibadah, menurut Ibnu Qayim, adalah cinta kepada Allah bahkan mengkhususkannya
hanya cinta kepada Allah semata. Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu
akan kau serahkan untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu.
Dikalangan para sahabatnya, kehidupan Rabi’ah dirasakan memberi manfaat.
Kecintaan Rabi’ah kepada Allah bukan karena pengharapan untuk beroleh surga
semata, tetapi sudah menjadi kewajiban baginya.
2. Ajaran Tasawuf ke-Zuhud-an Rabi’ah al-Adawiyah.
Kehidupan
beliau sangat sederhana dan sangat besar hatinya, beliau sering menolak setiap
bantuan orang lain yang datang dari para sahabatnya, tetapi malah beliau
menyibukan diri melayani Tuhannya. Hidup zuhud dan kehidupan duniawi ini benar
– benar ia jalankan konsisten. Sebagai seorang zahid, Rabi’ah senantiasa
berminajat kepada Allah agar dihindarkan dari ketergantungannya kepada manusia.
Walaupun dalam perjalanannya beliau menempuh perjalanan yang sulit. Meskipun
seperti itu beliau tetap berusaha untuk menghindari apapunbantuan yang datang
dari selain Allah.
Sikap zuhud
yang ditampilkan Rabi’ah sesungguhnya tidak lain agar ia hanya lebih mencintai
Allah ketimbang makhlik – makhluknya, karena itu, hidup dalam kefakiran baginya
bukan halangan untuk beribadahdan lebih dekat dengan Tuhannya. Kefakiran
merupakan suatu takdir, makanya ia harus terima dengan penuh keikhlasan.
Kebahagiaan dan penderitaan, menurut Rabi’ah adalah datang dari Allah. Dan
dalam perjalanan zuhudnya beliau telah melaksanakan pesan Rasulullah :”zuhudlah
engkau pada dunia, pasti Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada
pada manusia, pasti manusia akan mencintaimu”.
3. Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah
dinilai orang pertama yang menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah
atau pelopor agama cinta (mahabbah). Maka itu beliau disebut “The mother of
the Grand Master”. Ibu para sufi besar. Ada dua batasan cinta yang sering
dinyatakan Rabi’ah, yaitu :
1.
Sebagai ekspresi cinta
hamba kepada allah, maka cinta itu harus menutup selain sang Kekasih atau yang
dicinta, maka :
a.
Dia harus memalingkan
punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya.
b.
Dia harus memisahkan
dirinya sesama makhluk ciptaan Allah, supaya dia tidak bisa menarik sari sang
Pencipta.
c.
Dia harus bangkit dari
semua keinginan nafsu duniawi dan tidak memberikan peluang adanya kesenangan
dan kesengsaraan. Karena kesenangan dan kesengsaraan dikhawatirkan mengganggu
perenungan pada Yang Maha Suci.
2.
Kadar cinta kepada
Allah itu harus tidak ada pamrih apapun, artinya seseorang tidak dibenarkan
mengharapkan balasan dari Allah.
Tasawuf
Rabi’ah adalah dasarnya ekstrim rohaniah, dan beliaulah yang merintis untuk
membelokan ajaran islam ke arah mistik yang ekstrim rohaniah. Beliau menyadari
bahwa mencintai Allah karena memang Allah patut untuk dicintai, bukan karena
ketakutan terhadap neraka ataupun disebabkan mengharap surga-Nya. Cinta bagi
Rabi’ah itu tenggelam dalam renungan mengenai Allah dan berpaling daripada
segala makhluk, hingga tidak ada lagi dalam jiwanya perasaan marah atau benci
terhadap musuh. Tujuan akhir tasawufnya adalah penyatuan dengan-Nya.
H. PENGARUH KONSEP MAHABBAH RABI’AH AL-ADAWIYAH DALAM PENGEMBANGAN TASAWUF
Terdapat
tiga kontribusi Rabi’ah al-Adawiyah dalam dunia tasawuf. Pertama,
ia berhasil mentransformasikan konsep al-khauf dan al-raja’ kepada konsep
mahabbah, jadi ia menyembah Allah Swt bukan semata – mata karena takut kepada
api neraka dan mengharap surga, ettapi ia menyembah-Nya karena cinta. Kedua,
ia memberikan corak baru dalam dunia tasawuf. Walaupun ia sangat menderita
dalam hidupnya. Walaupun demikian ia kuat dan mampu menjadi seorang yang kuat
dalam bertasawuf. Ketiga, ia mengubah pandangan para sejarah
bahwa seorang wanita mampu menjadi seorang yang sufi. ia memberikan contoh yang
sangat menarik sekali kepada kita dan relevan sepanjang masa bagaimana kita
menyembah Allah Swt dengan penuh ketulusan.
Cinta
kepada Allah dan Rasul adalah cinta rasional (hubbun ‘aqliyun) atau
taat, bukan emosional (laa’aathifiyyun). Dasarnya cinta adalah
emosional, namun dalam islam tetap wajib dikendalikan dalam batas nalar yang
jernih, ikhlas bakti dan beribadah. Cinta yang diajarkan al-Qur’an dan
al-Hadits adalah cinta taat, cinta hormat, yang masih dikendalikan penalaran
rasional, bukan didorong perasaan membuta.
Konsep
mahabbah yang digagas Rabi’ah pada satu sisi mendorong motivasi umat islam
dalam ibadah untuk selalu lillahi ta’ala, dengan menyeimbangkan hablum
minallah dan mestinya jangan sampai mengurangi interaksi hablum minannas.
Rabi’ah telah membentuk satu cara yang luar biasa di dalammencintai Allah, dia
menjadikan kecintaan pada Ilahi itu sebagai satu cara untuk membersihkan hati
dan jiwa. Pada intinya ajaran dianutnya :
2.
Ia mempopulerkan
konsep mahabbah dikalangan sufi.
3.
Hidup zuhud dan rutin
beribadah kepada Allah Swt.
4.
Belum pernah menikah
sepanjang hidupnya, walaupun ia seorang yang cantik dan menarik.
5.
Kehidupannya sejak
awal tidak pernah merugikan orang lain. Ia hidup tanpa dinodai barang – barang
yang subhat.
6.
Beliau memanjatkan
do’a dengan syair – syair indah sebagai pembuktian rasa cinta dan rindunya
kepada Allah Swt.
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Berasal dari kata ahaba, yuhibbu,
mahabatan secara harfiah berarti mencintai secara mendalam atau kecintaan yang
mendalam. Mahabbah berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan
tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual.
Cinta adalah persesuaian, yaitu kepatuhan terhadap apa yang diperintahkan oleh
Tuhan. Cinta Allah ta’ala bagaikan cinta kebesarannya, kemuliaannya atau cinta
ketaatannya, atau sifat-sifatnya. Cinta itu adalah iradah, dan iradah
tergantung pada kejadian dan manfaat. Makna cinta atau mahabbah merupakan suatu
kelezatan, lawannya adalah kebencian yaitu ketidaksukaan jiwa karena
keberadaannya. Bertambah cintanya maka bertambah kelezatannya. Cinta kepada
Allah Swt mencakup tiga hal, yaitu :
4.
Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci
sikap melawan kepada-Nya.
5.
Menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.
6.
Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali
dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.
Tingkatan Mahabbah
Terdapat tiga tingkatan seperti
yang dikemukakan Al-Sarraj dikutip Harun Nasution, yaitu : Mahabbah orang
biasa, Mahabbah orang sidiq, Mahabbah orang arif. Dari ketiga tingkat
tersebut menunjukan proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat – sifat
Tuhan dengan menyebutnya melalui zikir, dilanjut dengan lebur diri (fana) pada
sifat – sifat Tuhan itu dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dan
ketiga tingkatan ini nampaknya cinta terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah.
Penyebab Timbulnya Cinta (Mahabbah)
Banyak yang menyebabkan orang
tertarik kepada sesuatu yang lain, sehingga dia merasa cinta, kagum, kasihan,
atau meras berterima kasih kepadanya. Ada lima perkara yang menyebakan orang
tertarik kepada sesuatu :
6.
Tertarik karena keindahan, kecantikan, dan
kelezatan sesuatu.
7.
Tertarik karena ingin keselamatan diri.
8.
Tertarik karena jasa baik, karena setiap
manusia akan merasa tertarik terhadap orang dengan senyum simpul bahkan sampai
menolong dengan sukarela.
9.
Tertarik karena persesuaian pemikiran. Seperti
adanya ukhuwah islamiyah karena adanya rasa timbul dari manifestasi persamaan
aqidah.
10.
Karena kebaikan yang ada pada sesuatu,
sehingga dalam hal ini seseorang yang berbudi baik disenangi oleh segenap
orang, meskipun orang yang menyayanginya itu baru mendengar namanya saja.
Dari lima poin di atas dapat disimpulkan
mejadi dua, yaitu : Selamat dan Senang
Cinta terbagi menjadi tiga, yaitu
cinta ilahi, cinta ruhani dan cinta alami. Cinta ilahi adalah cinta Allah
kepada kita, dan cinta kita kepada Allah. Cinta ruhani adalah cinta yang
mengalir dalam kerelaan kekasih, dan tidak tersisa maksud dan tujuan baginya
bersama kekasihnya, melainkan karena hukum cinta saja. Cinta alami adalah cinta
yang menuntut pencapaian maksud baik tersembunyi maupun tidak, dan cinta inilah
yang kebanyakan dimiliki manusia sekarang.
Adapun
sifat – sifat para pecinta dalam mahabbah adalah :
4.
Bingung, yakni
cintanya membuatnya bingung,
5.
Duka (kamd), yaitu
sakit hati yang paling nyeri pecinta yang merasakannya akan banyak merintih dan
menarik nafas panjang.
6.
Mengikuti Rasulullah
Saw dalam hal telah disyariatkan.
Model Cinta
Allah kepada hamba-Nya
9.
Cinta Allah kepada orang yang bertaubat.
10.
Cinta Allah kepada orang yang mensucikan diri.
11.
Cinta Allah kepada Orang yang bersih
(muthathohhirin). (QS 9 : 108)
12.
Cinta Allah kepada Orang yang sabar.
13.
Cinta Allah kepada Orang Yang bersyukur.
14.
Cinta Allah kepada orang yang berbuat baik.
(Muhsinin)
15.
Cinta Allah kepada orang yang berjuang di
jalan Allah.
16.
Cinta Allah akan Keindahan.
Alat Untuk
Mencapai Mahabbah
4.
Al-Qalb, yaitu hati sanubari, sebagai alat mengetahui sifat-sifat Tuhan.
5.
Roh, yaitu alat untuk
mencintai Tuhan.
6.
Sir, yaitu alat untuk
melihat Tuhan. Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qolb.
Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qolb, dan sir timbul
dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qolb dan roh telah suci
sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.
Tokoh yang mengembangkan Mahabbah
Tokoh yang
memperkenalkan mahabbah adalah Rabiah al Adawiyah, nama panjangnya Ummul Khayr
binti Islmail Rabi’al al-Adawiyah Al-Basyirah. Ia adalah seorang zahid
perempuan yang amat besar dari Basrah, di Irak. Ia hidup antara tahun 95H/713
wafat 185 H/801 M
Kehidupannya
sederhana dan sangat besar hatinya, beliau sering menolak setiap bantuan orang
lain yang datang dari para sahabatnya, tetapi malah beliau menyibukan diri
melayani Tuhannya. Walaupun dalam perjalanan kehidupannya beliau menempuh
perjalanan yang sulit. Sikap zuhud yang ditampilkan Rabi’ah sesungguhnya tidak
lain agar ia hanya lebih mencintai Allah ketimbang makhlik – makhluknya, karena
itu, hidup dalam kefakiran baginya bukan halangan untuk beribadah dan lebih
dekat dengan Tuhannya. Kefakiran merupakan suatu takdir, makanya ia harus
terima dengan penuh keikhlasan.
Rabi’ah
dinilai orang pertama yang menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah
atau pelopor agama cinta (mahabbah). Maka itu beliau disebut “The mother of
the Grand Master”. Ibu para sufi besar. Ada dua batasan cinta yang sering
dinyatakan Rabi’ah, yaitu :
3.
Sebagai ekspresi cinta
hamba kepada allah, maka cinta itu harus menutup selain sang Kekasih atau yang
dicinta, maka :
d.
Dia harus memalingkan
punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya.
e.
Dia harus memisahkan
dirinya sesama makhluk ciptaan Allah, supaya dia tidak bisa menarik sari sang
Pencipta.
f.
Dia harus bangkit dari
semua keinginan nafsu duniawi dan tidak memberikan peluang adanya kesenangan
dan kesengsaraan. Karena kesenangan dan kesengsaraan dikhawatirkan mengganggu
perenungan pada Yang Maha Suci.
4.
Kadar cinta kepada
Allah itu harus tidak ada pamrih apapun, artinya seseorang tidak dibenarkan
mengharapkan balasan dari Allah.
Pengaruh konsep mahabbah rabi’ah
al-adawiyah dalam pengembangan tasawuf
Terdapat
tiga kontribusi Rabi’ah al-Adawiyah dalam dunia tasawuf. Pertama,
ia berhasil mentransformasikan konsep al-khauf dan al-raja’ kepada konsep
mahabbah, jadi ia menyembah Allah Swt bukan semata – mata karena takut kepada
api neraka dan mengharap surga, ettapi ia menyembah-Nya karena cinta. Kedua,
ia memberikan corak baru dalam dunia tasawuf. Walaupun ia sangat menderita
dalam hidupnya. Walaupun demikian ia kuat dan mampu menjadi seorang yang kuat
dalam bertasawuf. Ketiga, ia mengubah pandangan para sejarah
bahwa seorang wanita mampu menjadi seorang yang sufi. ia memberikan contoh yang
sangat menarik sekali kepada kita dan relevan sepanjang masa bagaimana kita
menyembah Allah Swt dengan penuh ketulusan.
Bibliography
At-Tijjani, S. (2010). Mengenal Jalan - Jalan
Langit. Bandung: PT Pustaka Hidayah.
Dr. Hadi Mutamam, M. (2010). Maqam - Maqam Sufi Dalam Al-Qur'an.
Yogyakarta: PT. Suka Buku.
Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, M.A. dan Dra. Hj. Rayani Hanum Siregar,
M.H. (2013). Akhlak Tasawuf "Pengenalan, Pemahaman dan
Pengaplikasiannya disertai Biografi dan Tokoh - Tokoh Sufi). Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M. (2013). Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia
. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Prof. DR. Yunasril Ali, M. (2005). Pilar - Pilar Tasawuf. Jakarta :
Kalam Mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar