Rabu, 25 Juni 2014

Makalah Tasawwuf



. 2

BAB I. 

PENDAHULUAN


A.           Latar Belakang

Islam merupakan agama yang diridloi Allah, Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk menyempurnakan Akhlak, dan mengajarkan ajaran agama islam serta mengajarkan kepada manusia bagaimana untuk menjalani hidup ini dibawah keridloan Allah Swt. Sumber hukum yang menjadi pedoman yaitu Al-Quran dan sunnah. Dalam Al-quran memiliki isi kandungan yang sangat kompleks yaitu berupa hukum-hukum yang mengatur kehidupan makhluk ciptaannya.
Dalam islam mencakup tiga aspek yaitu hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam. Dalam hubungan manusia dengan Allah, semuanya sudah diatur oleh Allah. Sehingga dalam hubungan manusia dengan Allah dalam arti tata cara ibadah kepada Allah hukum awalnya adalah tidak boleh kecuali ada dalil yang memerintahkan. Sebaliknya, dalam hubungan dengan sesama manusia dan alam syariat Islam hanya mengatur pokok-pokoknya saja, sehingga hukum awalnya adalah boleh kecuali ada dalil yang melarang.
Tidak cukup seorang manusia menjalankan syariat tanpa mengenal pembuat syariat itu. Hal inilah yang menjadi kajian dalam ilmu tasawuf, yakni sebuah disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana seorang hamba untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Tuhannya atau mengenal Tuhannya. Dengan bertasawuf, perilaku seorang hamba akan terefleksikan dalam berbagai tindakan dan berkomunikasi secara baik dengan Tuhan sebagai perwujudan hablum minallah sekaligus berhubungan baik dengan sesama manusia dan alam
Menurut perkembangannya dalam agama islam banyak cara yang ditempuh oleh para arif bilah dalam mendekatkan diri kepada sang Khaliq, Pencipta alam semesta. Salah satunya berkembangnya ajaran tasawuf ini, yang pada intinya dalam ajaran tasawuf merupakan salah satu ajaran yang lebih mengedepankan bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Demikian juga tasawuf pun banyak dikenal dengan aliran-aliran dan macam yang berhubungan dengan ajaran tasawuf.

Kenyataan pada kehidupan dimasa sekarang banyak manusia khususnya umat islam sendiri terlena dengan kehidupan dunia sehingga mereka lupa akan kehidupan akhiratnya. Dengan melihat fenomena sekarang ini perlu kajian mendalam tentang ajaran tasawuf ini, walaupun pada awal berkembangnya banyak celaan terhadap para kaum sufi yang mengikutinya. Tetapi setelah mereka memahami secara lebih jauh lagi akhirnya ajaran tasawuf diterima di masyarakat.
Ajaran tasawuf adalah ajaran kebersihan batin dan kebatinan, semata – mata menjurus untuk bisa memasuki Hidratul Qudsi (hidrat kesucian) dengan makrifat yang sempurna, agar bisa musyahadah, mukasyafah dengan siraman mahabbah dari pada-Nya. Intinya dalam ajaran tasawuf merupakan metode, yaitu bagaimana seorang hamba untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhannya.
Dalam hal ini penulis akan mengkaji, bagaimana konsep dari ajaran tasawuf ini dengan konsep “Mahabbah” nya. Dimana mahabbah tersebut merupakan bagian dari maqam tasawuf dimana dalam setiap tahapan maqam tersebut bertujuan demi mencapai insan kamil, sebagai sebutan bagi sosok manusia yang mencapai derajat kesempurnaan.

B.            Rumusan Masalah

Dalam penulisan makalah ini rumusan masalah yang akan di uraikan adalah :
1.             Apa pengertian dari tasawuf ?
2.             Apa yang dimaksud dengan maqam dan tahapan maqam dalam bertasawuf ?
3.             Apa pengertian dari mahabbah dan bagaimana konsep mahabbah dalam tasawuf ?

C.           Tujuan

Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1.             Mengetahui pengertian dari tasawuf.
2.             Mengetahui pengertian maqam dan tahapan maqam dalam bertasawuf.
3.             Mengetahui pengertian mahabbah dan konsep mahabbah dalam tasawuf.


BAB II. 

PEMBAHASAN


A.           TASAWUF

Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol) dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihi sallam.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” (yang artinya: penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al Madani” (artinya: penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya.
Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan) yang terdepan di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla , pendapat ini pun salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” (dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’” yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah” (orang-orang terpilih) dari semua makhluk Allah ‘Azza wa Jalla , dan pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shafawi”.
Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.”


Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya. Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka.”
Dan berkata DR. Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan (hal. 17): “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.”   
Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain







B.            MAQAM DALAM TASAWUF

Kata maqam dapat diartikan sebagai station, tahapan atau tingkatan spiritual yang dicapai oleh para sufi, maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara terminologi sufi maqam diterjemahkan sebagai kedudukan spiritual yang diperoleh dengan daya upaya (mujahadah) dan ketulusan dalam menempuh perjalanan spiritual.
Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi mengatakan bahwa maqam merupakan tingkatan seorang hamba disisi Allah swt yang diperoleh karena ibadah, mujahadah, riyadlah, dan putusnya hubungan selain Allah Swt.  Beliau juga mengatakan bahwa maqam adalah kedudukan spiritual yang dicapai oleh seorang hamba dalam waktu – waktu tertentu. Tingkatan maqam yang dilalui, merupakan hasil kesungguhan dan perjuangan yang dilakukan terus menerus dalam hal ini melalui latihan dan menanamkan kebiasaan yang lebih baik lagi, dan telah pula menyempurnakan syarat – syarat yang harus ada pada maqam dibawahnya.
Perjalanan ini merupakan perjalanan panjang berisi tingkatan – tingkatan yang harus ditempuh oleh seorang sufi yang penuh dengan kesulitan dan membutuhkan jiwa yang sungguh – sungguh. Maqam bisa berupa etika yang diwujudkan dengan upaya menuntun kepada Allah Swt dan upaya pencapaian yang dilakukan oleh kaum sufi sangatlah beragam.
Abu Muhammad al-Qasim menyatakan bahwa ketika seorang hamba mencapai kedudukan maqam, maka seorang hamba harus memanfaatkan waktu untuk mengingat Allah Swt, mengisi waktu dengan amaliah lahir dan batin, bahkan setiap gerak geriknya. Maka dari itu dibutuhkan sikap istiqamah, dan tidak hanya ituseorang sufi mesti terbebas dari keinginan dan hawa nafsu pribadinya. Untuk mempermudah pencapaian tersebut, para sufi telah menciptakan jalan spiritual untuk merangkai hubungan dengan Tuhan, dan jalan itu disebut maqamat.
Tingkatan maqam dalam tasawuf, tiap sufi memberi nama dan menentukan urutan maqam yang harus dilaluinya. Muhammad al-Kalabazi mengidentifikasikan maqam para sufi terdiri dari : Taubat, Mujahadah, Zuhud, Khauf dan Raja’, Faqr, Sabar, Cinta dan Rindu, Wara’, ‘Uns, Riyadah dan Ma’rifah. Tetapi dalam pembahasan hanya dalam konsep mahabbah.


C.           MAHABBAH DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS


Ada banyak ayat – ayat dalam alqur’an menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhan dapat saling bercinta. Diantaranya : Artinya: “jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu”. (QS. Al-imran: 30). Artinya:”Allah akan mendatangkan suatu ummat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya”. (QS. Al-Maidah: 54). Di dalam hadits juga disebutkanyang artinya:” hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta kepada-Nya.
Orang yang Ku cintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”. Ayat dan hadits di atas memberikan petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan dapat saling mencintai, karena alat untuk mencintai Tuhan, yaitu roh yang berasal dari Tuhan. Roh Tuhan bersatu dan roh yang ada pada manusia anugerah Tuhan bersatu dan terjadilah mahabbah. Untuk mencapai keadaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh


D.           DASAR-DASAR AJARAN MAHABBAH

1.             Dasar Syara’

Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW.  Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.
a.      Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
1)            QS. Al-Baqarah ayat 165

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)”.

2)            QS. Al-Maidah ayat 54
“Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui”.

3)            QS. Ali Imran ayat 31

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

b.             Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“ Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka”.  

….. وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا
….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. …

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.

2.             Dasar Filosofis

Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut: 
1)             Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.

2)             Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan.
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut. 
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.  


3)             Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya. Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
1)             Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal  Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.

2)             Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.


Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.

3)             Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang penguasa.
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas untuk dicintai.

4)             Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah.
Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal. Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, sehingga ia  pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.

5)             Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Ketika dua orang sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.



E.            BAB III.  MAHABBAH DALAM TASAWUF


Berasal dari kata ahaba, yuhibbu, mahabatan secara harfiah berarti mencintai secara mendalam atau kecintaan yang mendalam. Mahabbah berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual. Mahabbah berasal dari kata hibbah,  yang berarti benih yang jatuh kebumi, karena cinta adalah sumber kehidupan, sebagaimana benih menjadi tanaman. Al-Junaid mengatakan cinta adalah kecenderungan hati dalam hal ini kepada Tuhan. Al-Kattani juga memandang cinta sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya dan apa –apa yang datang dari dikasihinya.
Cinta adalah kekuatan pendorong bagi pengungkapan diri Allah Swt, yakni penciptaan makhluk-Nya.  Hadits Qudsi : “Aku adalah khazanah tersembunyi dan aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan makhluk.” Cinta (hubb) inilah yang mendorong Sang Khaliq untuk menatap sang kekasih dengan penuh tatapan, oleh karena itu salah satu bentuk hubungan Allah Swt dengan makhluk nya adalah saling mencintai.
Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin”. (Al-Maidah : 54)
Cinta adalah persesuaian, yaitu kepatuhan terhadap apa yang diperintahkan oleh Tuhan. Muhammad ibn ‘Aliy Kaffani mengatakan bahwa cinta berarti lebih menyukai kekasihnya, dan cinta dipersembahkan untuk orang yang dicintainya. Kata Mahabbah selanjutnya digunakan untuk menunjukan pada faham suatu aliran tasawuf, dan yang menjadi objek adalah Tuhan. Arti mahabbah dalam pandangan tasawuf adalah kecintaan yang mendalam secara ruhiah pada Tuhan.


Al-Qusyairi, mengatakan “Al-mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah Swt, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juaga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah Swt”.  Mahabbah kepada Allah adalah cinta yang tanpa dibarengi dengan harapan pada hal – hal yang bersifat duniawi, maka mahabbah berbeda dengan al-raghbah. Cinta kepada Allah Swt menurut Al-Ghazali adalah sebagai hasil dari ma’rifatullah, oleh karena itu beliau mengatakan bahwa tajalliy (memperoleh kenyataan) berarti menampakan keagungan Allah Swt, yang pada akhirnya membawa manusia kepada khauf, tajalliy kecantikan dan keindahan Allah Swt, yang membawa manusia kepada rindu, tajalliy sifat Allah Swt membawa manusia kepada cinta, tajalliy zat Allah Swt membawa manusia kepada tauhid. Firman Allah Swt dalam surat Ali-Imran : 31

Artinya : “ Katakanlah (Muhammad) : jika kamu mencintai Allah ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosamu. Allah Mha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Sehubungan dengan itu Al-Razy menjelaskan, sesungguhnya cinta Allah ta’ala bagaikan cinta kebesarannya, kemuliaannya atau cinta ketaatannya, atau sifat-sifatnya. Cinta itu adalah iradah, dan iradah tergantung pada kejadian dan manfaat. Makna cinta atau mahabbah merupakan suatu kelezatan, lawannya adalah kebencian yaitu ketidaksukaan jiwa karena keberadaannya. Bertambah cintanya maka bertambah kelezatannya. Seseorang yang beriman yang amat sangat cintanya kepada Allah, maska pasti akan mendapatkan faedah dari kecintaannya, yang dalam cinta tersebut terdapat kelembutan, yaitu Allah Swt.
Tetapi sayangnya, hati manusia sering lalai sehingga tertutup mengenal Allah Swt. Padahal jamal, jalal dan kamal-Nya dapat kita saksikan di alam jagat raya ini. Tafakur kepadanya akan membawa kita mengenal-Nya. Kenal atau ma’rifah terhadap-Nya membawa kita mencintai-Nya. Yang pada akhirnya membuat kita selalu rindu kepada-Nya dan lidah akan selalu basah menyebut asma-Nya. Kemanapun pergi yang nampak hanyalah wajah-Nya.

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”. ( Q.S Al-Baqarah : 115)
Dalam keadaan apapun, maka kita akan  selalu ingat kepada-Nya jua. Q.S Ali-imran : 191 yang artinya : “mereka ingat kepada Allah diwaktu berdiri, duduk dan diwaktu berbaring”. Dan apabila disebutkan nama sang kekasih....Allah,bergetarlah hatinya, dan seluruh tubuhnya luluh serta lemas, terasa seakan diri berdiri dihadapan-Nya.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (Q.S Al-anfal : 2)
Apabila diri telah tenggelam dalam mencintai Allah, maka pasti akan terasa kelezatan iman, terasa indahnya kehidupan, terasa syahdunya menjadi penghuni alam. Dari hal ini timbullah akar sikap ridha. Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta kepada Allah Swt dalam tiga hal, yaitu :
1.             Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2.             Menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.
3.             Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.


Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa. Mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt. 
Mengenai kedudukannya, al-mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukan maupun pengertiannya. Ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (alQalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta(roh). Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Menurut Al Ghazali mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan. Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah.


1.             Tingkatan Mahabbah


Terdapat tiga tingkatan seperti yang dikemukakan Al-Sarraj dikutip Harun Nasution, yaitu :
1.             Mahabbah orang biasa
Biasanya mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan berdzikir, suka menyebut nama – nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.

2.             Mahabbah orang sidiq
Adalah cinta orang yang kenal kepada Allah, pada kebesaran, ilmu-Nya dan lain-lain. Merupakan cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia – rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari diaolg itu.
Cinta tingkat ini membuat orang tersebut sanggup menghilangkan kehendak dan sifat – sifatnya sendiri, sedangkan hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu kepada-Nya.

3.             Mahabbah orang arif
Merupakan cinta orang yang tahu betul kepada Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat – sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.
Dari ketiga tingkat tersebut menunjukan proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat – sifat Tuhan dengan menyebutnya melalui zikir, dilanjut dengan lebur diri (fana) pada sifat – sifat Tuhan itu dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dan ketiga tingkatan ini nampaknya cinta terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah.
Mahabbah ini yang merupakan suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat – sifat dicintai masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya ialah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan kata – kata tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu mahabbah merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, sedih, perasaan takut  dan sebagainya.


2.             Penyebab Timbulnya Cinta (Mahabbah)


Banyak yang menyebabkan orang tertarik kepada sesuatu yang lain, sehingga dia merasa cinta, kagum, kasihan, atau meras berterima kasih kepadanya. Ada lima perkara yang menyebakan orang tertarik kepada sesuatu :
1.             Tertarik karena keindahan, kecantikan, dan kelezatan sesuatu.
2.             Tertarik karena ingin keselamatan diri.
3.             Tertarik karena jasa baik, karena setiap manusia akan merasa tertarik terhadap orang dengan senyum simpul bahkan sampai menolong dengan sukarela.
4.             Tertarik karena persesuaian pemikiran. Seperti adanya ukhuwah islamiyah karena adanya rasa timbul dari manifestasi persamaan aqidah.
Orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang – orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka ”. (al-Fath : 29)

5.             Karena kebaikan yang ada pada sesuatu, sehingga dalam hal ini seseorang yang berbudi baik disenangi oleh segenap orang, meskipun orang yang menyayanginya itu baru mendengar namanya saja.
Dari lima poin di atas dapat disimpulkan mejadi dua, yaitu :
1.             Selamat
Orang mencintai sesuatu karena ingin mendapat keselamatan darinya.

2.             Senang
Seperti halnya seorang pria senang melihat perempuan yang cantik, tetapi alangkah besarnya kecintaan kita kepada Allah Swt yang telah menjadikan diri kita, sehingga kita bisa melangsungkan hidup kita. alam luas terbentang kita berusaha mencari rezeki di atasnya.
Allah adalah Zat yang Maha Indah (jamal) tiada yang melebihi keindahan-Nya, keindahan makhluk hanya bersifat sementara. Bukan hanya jamal tapi Allah juga kamal (sempurna), Allah Maha Kaya apa yang kita minta Allah akan memberikannya. Ibnu Qayim al-Jauziyah :”sesungguhnya sifat Allah dan Kesempurnaan-Nya, hakikat asma-Nya yang menarik hati untuk mencintai-Nya, dan mendorong manusia untuk mencapai-Nya. Hati hanya mencintai yang sudah dikenalnya, ditakutinya, diharapkannya, dan dirinduinya, dan merasa lega karena berdekatan dengan-Nya. Justru karena kenal kepada sifat itulah manusia mencintai-Nya, dengan demikian insan dapat mencapai-Nya dengan kasyaf dan limpahan karunianya”.


3.             Pembagian Cinta


Bagian dari sifat cinta adalah ketersambungan dengan yang dicinta, dan sifatnya yang umum adalah mencintai apa yang dicintai kekasihnya maka ia mencintai objek yang terputus. Tujuan antara ketersambungan dengan keterputusan adalah mencintai cinta kekasih pada keterputusan, bukan mencintai keterputusn, serta mencintai ketersambungan. Cinta terbagi menjadi tiga, yaitu cinta ilahi, cinta ruhani dan cinta alami. Cinta ilahi adalah cinta Allah kepada kita, dan cinta kita kepada Allah. Firman Allah dalam Q.s Adz-Dzariyat : 56, yang artinya : “ tidak semata – mata Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku”.
Cinta ruhani adalah cinta yang mengalir dalam kerelaan kekasih, dan tidak tersisa maksud dan tujuan baginya bersama kekasihnya, melainkan karena hukum cinta saja. Cinta alami adalah cinta yang menuntut pencapaian maksud baik tersembunyi maupun tidak, dan cinta inilah yang kebanyakan dimiliki manusia sekarang.
Dari tiga bagian cinta di atas, ada dua cinta kita kepada Allah Swt secara bersamaan, cinta ruhani dan alami. Apabila seorang hamba telah tertanam dua cinta tersebut mereka akan selalu memuji, bertasbih kepada-Nya dan beribadah tanpa menuntut imbalan apapun dari-Nya.
Cinta ruhani adalah mencintai kekasih demi dia dan demi dirinya sendiri. Tujuan cinta ruhani adalah “aku adalah yang mencintai, ia yang mencintaiku”. Cinta alami ialah mencintai satu objek cinta demi diri sendiri, bukan demi diri yang dicintainya. Cinta memiliki empat kategori :
1.             Hawa (nafsu)
Hawa jatuhnya dalam hati, yaitu kemunculannya dari gaib ke nampak, terjadinya hawa ada tiga, yaitu penglihatan, pendengaran dan kebaikan. Dari ketiganya yang paling berpengaruh adalah penglihatan. Hawa kadang dikaitkan dengan cinta manusia, maka Tuhan menyuruhnya untuk tidak mengikuti cinta manusia, melainkan mengikuti cinta Tuhannya.
“... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu..” (QS. Shaad :26)

2.             Hubb
Pemurnian nafsu dalam kaitannya dengan jalan Allah tanpa jalan yang lain. QS Ali-Imran ayat 165, yang artinya :” adapun orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah”

3.             ‘Isyq
Ialah pelampauan batas mahabbah, “... amat sangat cintanya ...” mereka adalah para pecinta (al-‘asyiq) yang bersungguh – sungguh dalam cinta, ini yang disebut sangat cinta (al-garaam). Dalam konteks ini akan mengalami seorang pecinta tunduk dan patuh kepada kekasihnya.

4.             Al-Wudd
Adalah tetapnya ketiga kategori di atas, tidak ada sesuatu apapun yang merubahnya baik yang menyenangkan maupun menyengsarakan. Dengan kata lain tetapnya mahabbah dalam diri. Konsep mahabbah lebih lembut daripada dalam esensinya, sebagaimana firman Allah “beribadahlah kepada Allah seakan – akan engkau melihat-Nya”.

4.             Sifat Para Pecinta dalam Konsep Mahabbah


Adapun sifat – sifat para pecinta dalam mahabbah adalah :
1.             Bingung, yakni cintanya membuatnya bingung, kebingungan pecinta Allah disebabkan karena ia mengetahui kelak Allah ta’ala tidak bersyarat dan tidak ditentukan tempat, “maka kemanapun engkau menghadap disitulah wajah Allah” (QS 2:115)
2.             Duka (kamd), yaitu sakit hati yang paling nyeripecinta yang merasakannya akan banyak merintih dan menarik nafas panjang. Tidak ada obatnya kecuali menemui kekasihnya, kesibukan degan kekasihnya akan membuatnya fana akan rasa nyeri.
3.             Mengikuti Rasulullah Saw dalam hal telah disyariatkan.
Allah berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 31 :
 Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.











5.             Model – Model Cinta Allah Kepada Hamba-Nya


Benih cinta pokoknya berasal dari Allah. Cinta manusia merupakan percikan karunia dari Allah. Cinta terhadap diri dengan berbagai cara sehingga kita dapat melanjutkan hayat kita dengan aman dan tenteram (mahabbatut-thabi’iyah). Perasaan cinta dengan menumpahkannya kepada Tuhan sang khaliq, yang menyayangi kita, memberi kita hidup, sehingga terasa di dalam diri kita perasaan cinta kepada-Nya. (mahabbatul-ubudiyah).
Dengan mahabbatul-ubudiyah manusia mengagungkan Allah, mencari keridloan-Nya, tidak merasa tenang kalau tidak bersama-Nya dan mengharapkan pertemuan dengan Allah. Cinta yang asal, menjadi asal usul cinta kita yaitu cinta Allah kepada makhluk-Nya disebut mahabbatun-ilahiyah. Semakin tinggi cinta ubudiyah mak semakin mendalam cinta ilahiyah kepadanya.
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Ali-Imran : 31)
Sebagai bukti betapa besarnya cinta Allah kepada manusia secara umum, kita debiri petunjuk jalan hidup menuju kesejahteraan baik duniawi maupun ukhrawi, dengan hidayah-Nya. Mulai dari hidayah paling rendah sampai hidayah tertinggi, yakni :
1.             Hidayah ilham, yakni Tuhan memberikan kepada manusia naluri yang menggerakannya untuk menuntut segala yag dibutuhkan oleh jiwa raganya.
2.             Hidayah indera, yakni kita diberikan panca indera dengan segala fungsi dan kegunaan, dan itu semua kita rasakan. Dengan panca indera manusia dapat membedakan antara yang berguna bagi tubuh dan yang tidak bermanfaat.
3.             Hidayah akal, yang kedua dan pertama manusia tak berbeda dengan hewan, tapi dalam hidayah ini yang membedakan kita dengan yang lainnya yaitu akal. Dengan akal kita bisa membedakan mana baik dan buruk, mana yang layak atau tidak.
4.             Hidayah agama, inilah hidayah tertinggi. Dengan ini manusia ditunjukan Allah agar manusia selamat di dunia dan akhirat.
Cintanya Allah sudah ada sejak sebelum Dia menciptakannya, sedangkan cinta yang khusus muncul dari amalan – amalan manusia baik yang sunnah dan wajib. Berikut model cinta Allah kepada hamba-Nya :
1.             Cinta Allah kepada orang yang bertaubat.
Orang yang benar-benar betaubat adalah hamba yang lebih bersabar pada hak orang yang berbuat jahat kepadanya, kemudian ia membalas semua dengan kebaikan dan memaafkan semua perlakuan yang menyakitkan itu, dan bukan ia yang kembali kepada Allah kecuali orang yang tidak tahu bahwa Allah bersamanya dalam setiap waktu. “... pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah” (QS 2 : 281).
Dengan demikian orang tersebut benar – benar mengakui kesalahannya dan tidak akan mengulangi kesalahan tersebut, segala sesuatu yang telah ia kerjakan maka ia kembalikan kepada Allah dengan cara berserah diri dan bertawakal.

2.             Cinta Allah kepada orang yang mensucikan diri.
Dalam hal ini tidak hanya bersih lahiriah tetapi bersih dalam ruang lingkup ruhaniah. Karena dalam diri manusia terdapat nafsu yang mana hal tersebut menjerumuskan kedalam kesalahan, keangkuhan, riya, takabur dan lainnya.

3.             Cinta Allah kepada Orang yang bersih (muthathohhirin). (QS 9 : 108)
Mereka adalah orang – orang yang membersihkan diri dan membersihkan orang lain. Dalam konteks tersebut saling mengingatkan dalam hal kebaikan.

4.             Cinta Allah kepada Orang yang sabar.
“... Allah mencintai orang – orang yang sabar...” (QS 3 : 146)
Mereka adalah orang – orang yang terkena musibah dan menahan diri dari mengadu kepada selain Allah.
Bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah “. (An-Nahl : 127).

5.             Cinta Allah kepada Orang Yang bersyukur.
Segala sesuatu yang terjadi semua adalah kehendak Allah, dan semua yang terjadi menimpa manusia baik dalam kebaikan dan keburukan atau kepahitan semua tetap wajib kita syukuri, karena dalam semua itu terdapat hikmah bagi kita.


6.             Cinta Allah kepada orang yang berbuat baik. (Muhsinin)

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (Al-Baqarah : 195)
Kebaikan adalah sifat Allah, dan kebaikan yang dengannya Allah menamai seorang hamba dengan muhsin, adalah beribadah kepada Allah seakan – akan melihat-Nya dalam gerak – gerik dan aktivitasnya.
Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? ” (QS 41. Al-Fuhsilat : 53)

7.             Cinta Allah kepada orang yang berjuang di jalan Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (QS. Ash-Shaf : 4)

8.             Cinta Allah akan Keindahan.
Sabda Rasul Saw : “ sungguh Allah Maha Indah dan Mencintai Keindahan ”.   Seperti alam ini penuh dengan keindahan, maka sudah seharusnya mencintai alam, menjaga dan memelihara alam ini dengan cara pandang yang baik. Tetapi bukan terhadap alamnya tersebut melainkan kaindahan alam merupakan sebuah hasil karya yang Maha Indah, yang dibuat oleh kreatornya yaitu Allah Swt.



F.            ALAT UNTUK MENCAPAI MAHABBAH


Para ahli tasawuf mengungkapkan alat untuk mencapai mahabbah yaitu menggunakan pendekatan psikologi melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution mengatakan alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir.
Harun Nasution mengutip pendapat al-Qusyairi ada 3 alat yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan yaitu:
1.             Al-Qalb, yaitu hati sanubari, sebagai alat mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2.             Roh, yaitu alat untuk mencintai Tuhan.
3.             Sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qolb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qolb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qolb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya berisi oleh cinta kepada Tuhan. Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu sebenarnya telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak dalam kandungan ketika berumur empat bulan, dengan demikian alat untuk mencintai Tuhan sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak mengetahui sebenarnya hakikat roh itu, yang mengetahui hanyalah Tuhan.
Artinya: “ mereka itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali”. (QS. Al-isra’: 85).

Selanjutnya Rasulullah saw juga telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim yang artinya: “sesungguhnya manusia dilakukan penciptaaannya dalam kandungan ibunya, selama empat puluh hari dalam bentuk nutfah(segumpal darah), kemudian menjadi alaqah(segumpal daging) pada waktu juga 40 hari, kemudian dijadikan mudghah (segumpal daging yang telah berbentuk) pada waktu 40 hari juga, kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya”


G.           TOKOH YANG MENGEMBANGKAN MAHABBAH

Tokoh yang memperkenalkan mahabbah adalah Rabiah al Adawiyah, nama panjangnya Ummul Khayr binti Islmail Rabi’al al-Adawiyah Al-Basyirah. Ia adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Basrah, di Irak. Ia hidup antara tahun 95H/713 wafat 185 H/801 M.
Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadah, bertaubat, menjauhi hidup duniawi dan menolak bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Selain itu juga ia betul – betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Allah swt dan selalu menolak lamaran pria salih. Diantara doa dari Rabiatul Adawiyah : “Ya Rabbi, bila aku menyembah-Mu karena takut akan neraka bakarlah diriku di dalamnya. Bila aku menyembah-Mu karena harap akan syurga jauhkanlah aku dari sana. Namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau maka janganlah Kau tutup Keindahan Abadi-Mu”.

1.             Mengenal Allah dengan Cinta


Rabiah adalah Sufi pertama yangmemperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang maqam, atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik. Bukan hanya beliau terdapat tokoh sufi yang lain seperti Maulana Jalaludin Rumi yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M wafat 672 H/ 1273 M. Beliau banyak mengenalkan konsep mahhabah melalui syair – syairnya. Tetapi yang paling banyak adalah konsep yang diajarkan oleh Rabiah Al-Adawiyah.
Konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yang terdalam dari sekedar cinta itu sendiri. Mahabbatullah tidak lain adalah sebuah maqam bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul islam Al-Ghazali mengatakan, “ setelah mahabbatullah tidak ada lagimaqa, kecuali hanya merupakan sebuah buah daripadanya serta mengikuti darinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (Ridla). Cinta Rabi’ah adalah cinta spiritual (cinta kudus), bukan cinta al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau cinta yang lain.
Ibnu Qayim Al-Jauziyah (691 H – 751 M), membagi cinta menjadi empat baian :
1.             Mencintai Allah, dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya.
2.             Mencintai apa – apa yang dicintai Allah, cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling dicintai adalah yang paling kuat dengan cinta ini.
3.             Cinta untuk Allah dan kepada Allah, yaitu perkembangan dari mencintai apa – apa yang dicintai Allah.
4.             Cinta bersama Allah, cinta jenis ini syirik, setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang – orang musyrik.
Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayim, adalah cinta kepada Allah bahkan mengkhususkannya hanya cinta kepada Allah semata. Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu. Dikalangan para sahabatnya, kehidupan Rabi’ah dirasakan memberi manfaat. Kecintaan Rabi’ah kepada Allah bukan karena pengharapan untuk beroleh surga semata, tetapi sudah menjadi kewajiban baginya.

2.             Ajaran Tasawuf ke-Zuhud-an Rabi’ah al-Adawiyah.


Kehidupan beliau sangat sederhana dan sangat besar hatinya, beliau sering menolak setiap bantuan orang lain yang datang dari para sahabatnya, tetapi malah beliau menyibukan diri melayani Tuhannya. Hidup zuhud dan kehidupan duniawi ini benar – benar ia jalankan konsisten. Sebagai seorang zahid, Rabi’ah senantiasa berminajat kepada Allah agar dihindarkan dari ketergantungannya kepada manusia. Walaupun dalam perjalanannya beliau menempuh perjalanan yang sulit. Meskipun seperti itu beliau tetap berusaha untuk menghindari apapunbantuan yang datang dari selain Allah.
Sikap zuhud yang ditampilkan Rabi’ah sesungguhnya tidak lain agar ia hanya lebih mencintai Allah ketimbang makhlik – makhluknya, karena itu, hidup dalam kefakiran baginya bukan halangan untuk beribadahdan lebih dekat dengan Tuhannya. Kefakiran merupakan suatu takdir, makanya ia harus terima dengan penuh keikhlasan. Kebahagiaan dan penderitaan, menurut Rabi’ah adalah datang dari Allah. Dan dalam perjalanan zuhudnya beliau telah melaksanakan pesan Rasulullah :”zuhudlah engkau pada dunia, pasti Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada pada manusia, pasti manusia akan mencintaimu”.


3.             Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah


Rabi’ah dinilai orang pertama yang menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah atau pelopor agama cinta (mahabbah). Maka itu beliau disebut “The mother of the Grand Master”. Ibu para sufi besar. Ada dua batasan cinta yang sering dinyatakan Rabi’ah, yaitu :
1.             Sebagai ekspresi cinta hamba kepada allah, maka cinta itu harus menutup selain sang Kekasih atau yang dicinta, maka :
a.              Dia harus memalingkan punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya.
b.             Dia harus memisahkan dirinya sesama makhluk ciptaan Allah, supaya dia tidak bisa menarik sari sang Pencipta.
c.              Dia harus bangkit dari semua keinginan nafsu duniawi dan tidak memberikan peluang adanya kesenangan dan kesengsaraan. Karena kesenangan dan kesengsaraan dikhawatirkan mengganggu perenungan pada Yang Maha Suci.

2.             Kadar cinta kepada Allah itu harus tidak ada pamrih apapun, artinya seseorang tidak dibenarkan mengharapkan balasan dari Allah.
Tasawuf Rabi’ah adalah dasarnya ekstrim rohaniah, dan beliaulah yang merintis untuk membelokan ajaran islam ke arah mistik yang ekstrim rohaniah. Beliau menyadari bahwa mencintai Allah karena memang Allah patut untuk dicintai, bukan karena ketakutan terhadap neraka ataupun disebabkan mengharap surga-Nya. Cinta bagi Rabi’ah itu tenggelam dalam renungan mengenai Allah dan berpaling daripada segala makhluk, hingga tidak ada lagi dalam jiwanya perasaan marah atau benci terhadap musuh. Tujuan akhir tasawufnya adalah penyatuan dengan-Nya.


H.           PENGARUH KONSEP MAHABBAH RABI’AH AL-ADAWIYAH DALAM PENGEMBANGAN TASAWUF


Terdapat tiga kontribusi Rabi’ah al-Adawiyah dalam dunia tasawuf. Pertama, ia berhasil mentransformasikan konsep al-khauf dan al-raja’ kepada konsep mahabbah, jadi ia menyembah Allah Swt bukan semata – mata karena takut kepada api neraka dan mengharap surga, ettapi ia menyembah-Nya karena cinta. Kedua, ia memberikan corak baru dalam dunia tasawuf. Walaupun ia sangat menderita dalam hidupnya. Walaupun demikian ia kuat dan mampu menjadi seorang yang kuat dalam bertasawuf. Ketiga, ia mengubah pandangan para sejarah bahwa seorang wanita mampu menjadi seorang yang sufi. ia memberikan contoh yang sangat menarik sekali kepada kita dan relevan sepanjang masa bagaimana kita menyembah Allah Swt dengan penuh ketulusan.
Cinta kepada Allah dan Rasul adalah cinta rasional (hubbun ‘aqliyun) atau taat, bukan emosional (laa’aathifiyyun). Dasarnya cinta adalah emosional, namun dalam islam tetap wajib dikendalikan dalam batas nalar yang jernih, ikhlas bakti dan beribadah. Cinta yang diajarkan al-Qur’an dan al-Hadits adalah cinta taat, cinta hormat, yang masih dikendalikan penalaran rasional, bukan didorong perasaan membuta.

Konsep mahabbah yang digagas Rabi’ah pada satu sisi mendorong motivasi umat islam dalam ibadah untuk selalu lillahi ta’ala, dengan menyeimbangkan hablum minallah dan mestinya jangan sampai mengurangi interaksi hablum minannas. Rabi’ah telah membentuk satu cara yang luar biasa di dalammencintai Allah, dia menjadikan kecintaan pada Ilahi itu sebagai satu cara untuk membersihkan hati dan jiwa. Pada intinya ajaran dianutnya :
2.             Ia mempopulerkan konsep mahabbah dikalangan sufi.
3.             Hidup zuhud dan rutin beribadah kepada Allah Swt.
4.             Belum pernah menikah sepanjang hidupnya, walaupun ia seorang yang cantik dan menarik.
5.             Kehidupannya sejak awal tidak pernah merugikan orang lain. Ia hidup tanpa dinodai barang – barang yang subhat.
6.             Beliau memanjatkan do’a dengan syair – syair indah sebagai pembuktian rasa cinta dan rindunya kepada Allah Swt.


















BAB III PENUTUP


KESIMPULAN

 

Berasal dari kata ahaba, yuhibbu, mahabatan secara harfiah berarti mencintai secara mendalam atau kecintaan yang mendalam. Mahabbah berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual. Cinta adalah persesuaian, yaitu kepatuhan terhadap apa yang diperintahkan oleh Tuhan. Cinta Allah ta’ala bagaikan cinta kebesarannya, kemuliaannya atau cinta ketaatannya, atau sifat-sifatnya. Cinta itu adalah iradah, dan iradah tergantung pada kejadian dan manfaat. Makna cinta atau mahabbah merupakan suatu kelezatan, lawannya adalah kebencian yaitu ketidaksukaan jiwa karena keberadaannya. Bertambah cintanya maka bertambah kelezatannya. Cinta kepada Allah Swt mencakup tiga hal, yaitu :
4.             Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
5.             Menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.
6.             Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.


Tingkatan Mahabbah
Terdapat tiga tingkatan seperti yang dikemukakan Al-Sarraj dikutip Harun Nasution, yaitu : Mahabbah orang biasa, Mahabbah orang sidiq, Mahabbah orang arif. Dari ketiga tingkat tersebut menunjukan proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat – sifat Tuhan dengan menyebutnya melalui zikir, dilanjut dengan lebur diri (fana) pada sifat – sifat Tuhan itu dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dan ketiga tingkatan ini nampaknya cinta terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah.

 

Penyebab Timbulnya Cinta (Mahabbah)
Banyak yang menyebabkan orang tertarik kepada sesuatu yang lain, sehingga dia merasa cinta, kagum, kasihan, atau meras berterima kasih kepadanya. Ada lima perkara yang menyebakan orang tertarik kepada sesuatu :
6.             Tertarik karena keindahan, kecantikan, dan kelezatan sesuatu.
7.             Tertarik karena ingin keselamatan diri.
8.             Tertarik karena jasa baik, karena setiap manusia akan merasa tertarik terhadap orang dengan senyum simpul bahkan sampai menolong dengan sukarela.
9.             Tertarik karena persesuaian pemikiran. Seperti adanya ukhuwah islamiyah karena adanya rasa timbul dari manifestasi persamaan aqidah.
10.         Karena kebaikan yang ada pada sesuatu, sehingga dalam hal ini seseorang yang berbudi baik disenangi oleh segenap orang, meskipun orang yang menyayanginya itu baru mendengar namanya saja.
Dari lima poin di atas dapat disimpulkan mejadi dua, yaitu : Selamat dan Senang
Cinta terbagi menjadi tiga, yaitu cinta ilahi, cinta ruhani dan cinta alami. Cinta ilahi adalah cinta Allah kepada kita, dan cinta kita kepada Allah. Cinta ruhani adalah cinta yang mengalir dalam kerelaan kekasih, dan tidak tersisa maksud dan tujuan baginya bersama kekasihnya, melainkan karena hukum cinta saja. Cinta alami adalah cinta yang menuntut pencapaian maksud baik tersembunyi maupun tidak, dan cinta inilah yang kebanyakan dimiliki manusia sekarang.
Adapun sifat – sifat para pecinta dalam mahabbah adalah :
4.             Bingung, yakni cintanya membuatnya bingung,
5.             Duka (kamd), yaitu sakit hati yang paling nyeri pecinta yang merasakannya akan banyak merintih dan menarik nafas panjang.
6.             Mengikuti Rasulullah Saw dalam hal telah disyariatkan.

Model Cinta Allah kepada hamba-Nya
9.             Cinta Allah kepada orang yang bertaubat.
10.         Cinta Allah kepada orang yang mensucikan diri.
11.         Cinta Allah kepada Orang yang bersih (muthathohhirin). (QS 9 : 108)
12.         Cinta Allah kepada Orang yang sabar.
13.         Cinta Allah kepada Orang Yang bersyukur.
14.         Cinta Allah kepada orang yang berbuat baik. (Muhsinin)
15.         Cinta Allah kepada orang yang berjuang di jalan Allah.
16.         Cinta Allah akan Keindahan.

Alat Untuk Mencapai Mahabbah
4.              Al-Qalb, yaitu hati sanubari, sebagai alat mengetahui sifat-sifat Tuhan.
5.             Roh, yaitu alat untuk mencintai Tuhan.
6.             Sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qolb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qolb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qolb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apapun.

Tokoh yang mengembangkan Mahabbah
Tokoh yang memperkenalkan mahabbah adalah Rabiah al Adawiyah, nama panjangnya Ummul Khayr binti Islmail Rabi’al al-Adawiyah Al-Basyirah. Ia adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Basrah, di Irak. Ia hidup antara tahun 95H/713 wafat 185 H/801 M


Kehidupannya sederhana dan sangat besar hatinya, beliau sering menolak setiap bantuan orang lain yang datang dari para sahabatnya, tetapi malah beliau menyibukan diri melayani Tuhannya. Walaupun dalam perjalanan kehidupannya beliau menempuh perjalanan yang sulit. Sikap zuhud yang ditampilkan Rabi’ah sesungguhnya tidak lain agar ia hanya lebih mencintai Allah ketimbang makhlik – makhluknya, karena itu, hidup dalam kefakiran baginya bukan halangan untuk beribadah dan lebih dekat dengan Tuhannya. Kefakiran merupakan suatu takdir, makanya ia harus terima dengan penuh keikhlasan.
Rabi’ah dinilai orang pertama yang menyatakan doktrin cinta tanpa pamrih kepada Allah atau pelopor agama cinta (mahabbah). Maka itu beliau disebut “The mother of the Grand Master”. Ibu para sufi besar. Ada dua batasan cinta yang sering dinyatakan Rabi’ah, yaitu :
3.             Sebagai ekspresi cinta hamba kepada allah, maka cinta itu harus menutup selain sang Kekasih atau yang dicinta, maka :
d.             Dia harus memalingkan punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya.
e.              Dia harus memisahkan dirinya sesama makhluk ciptaan Allah, supaya dia tidak bisa menarik sari sang Pencipta.
f.              Dia harus bangkit dari semua keinginan nafsu duniawi dan tidak memberikan peluang adanya kesenangan dan kesengsaraan. Karena kesenangan dan kesengsaraan dikhawatirkan mengganggu perenungan pada Yang Maha Suci.

4.             Kadar cinta kepada Allah itu harus tidak ada pamrih apapun, artinya seseorang tidak dibenarkan mengharapkan balasan dari Allah.

Pengaruh konsep mahabbah rabi’ah al-adawiyah dalam pengembangan tasawuf
Terdapat tiga kontribusi Rabi’ah al-Adawiyah dalam dunia tasawuf. Pertama, ia berhasil mentransformasikan konsep al-khauf dan al-raja’ kepada konsep mahabbah, jadi ia menyembah Allah Swt bukan semata – mata karena takut kepada api neraka dan mengharap surga, ettapi ia menyembah-Nya karena cinta. Kedua, ia memberikan corak baru dalam dunia tasawuf. Walaupun ia sangat menderita dalam hidupnya. Walaupun demikian ia kuat dan mampu menjadi seorang yang kuat dalam bertasawuf. Ketiga, ia mengubah pandangan para sejarah bahwa seorang wanita mampu menjadi seorang yang sufi. ia memberikan contoh yang sangat menarik sekali kepada kita dan relevan sepanjang masa bagaimana kita menyembah Allah Swt dengan penuh ketulusan.
















Bibliography

At-Tijjani, S. (2010). Mengenal Jalan - Jalan Langit. Bandung: PT Pustaka Hidayah.
Dr. Hadi Mutamam, M. (2010). Maqam - Maqam Sufi Dalam Al-Qur'an. Yogyakarta: PT. Suka Buku.
Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, M.A. dan Dra. Hj. Rayani Hanum Siregar, M.H. (2013). Akhlak Tasawuf "Pengenalan, Pemahaman dan Pengaplikasiannya disertai Biografi dan Tokoh - Tokoh Sufi). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M. (2013). Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia . Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Prof. DR. Yunasril Ali, M. (2005). Pilar - Pilar Tasawuf. Jakarta : Kalam Mulia.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar